Bulan Februari 2017, kembali musim hujan, siapkah Jakarta menghadapi bencana banjir? medio Februari, tercatat beberapa kali terjadi hujan deras yang berlangsung lama. Tanggal 21 Februari 2017, mulai dari pagi sekitar jam 3 hingga 7, hujan terus menerus mengguyur Jakarta dan sekitarnya.
Saya tidak akan membahas mengenai banjir, genangan air dan akibat lainnya, hanya ingin membuat tulisan ringan dari pandangan mata ketika hujan cukup lama.
Setiap hari saya berangkat kerja dengan menggunakan sepeda, salah satu rute yang saya lewati adalah daerah Jati Baru, Tanah Abang. Persisnya saya melewati samping sungai Ciliwung di seberang stasiun KRL Tanah Abang, seperti saya lampirkan peta dari Google Map di bawah.
Saat melintas di samping sungai Ciliwung, tampak arus cukup deras dan tinggi. Sejauh yang pernah saya dengar, air kiriman dari Bogor akan melalui sungai Ciliwung sebelum akhirnya bermuara ke laut. Saya melihat di area tersebut, sungai sudah ditanggul cukup tinggi karena di sekitarnya adalah lingkungan padat penduduk.
Beberapa tahun sebelumnya, di area tersebut pernah terendam banjir, tidak terlalu dalam di jalannya tapi sebagian rumah penduduk posisinya lebih rendah sehingga terendam cukup dalam.
Berikut adalah video singkat yang saya rekam.
Kemudian saya mencoba melihat sisi lain dari aliran sungai, yaitu di sebalik pipa besar warna biru, di bawah adalah rekaman videonya.
Ternyata sudah jauh lebih bersih, tidak ada lagi gunungan sampah yang tertambat. Di bagian kiri ada sedikit tumpukan yang sepertinya adalah sampah yang dikumpulkan oleh seseorang, entah dia petugas kebersihan atau mungkin pemulung.
Hal yang ingin saya sampaikan adalah, ketinggian tanah di Jakarta kian tahun kian rendah dibanding dengan ketinggian air laut. Saya tidak bisa bayangkan, 10 tahun dari sekarang, yaitu tahun 2027, akan seberapa tinggi tanggul yang harus dibangun di wilayah tersebut agar mampu menahan luapan sungai Ciliwung.
Adalah penting kita semua warga Jakarta untuk peduli dan pro aktif. Tidak membuang sampah di sungai dan terus mengurangi penggunaan air tanah. Bak sebuah lakon, gubernur dan pemda Jakarta adalah manajernya, sedangkan warga Jakarta adalah artis utamanya. Sukses tidaknya lakon tersebut, ditentukan oleh sang artis.